Bintang Laut
Ketika fajar menyingsing, seorang lelaki tua berjalan-jalan di pinggir
pantai sambil menikmati angin laut yang segar menerpa bibir pantai. Di
kejauhan dilihatnya seorang anak sedang memungut bintang laut dan
melemparkannya kembali ke dalam air. Setelah mendekati anak itu, lelaki
tua itu bertanya heran.
'Mengapa engkau mengumpulkan dan melemparkan kembali bintang laut itu ke dalam air ?', tanyanya.
'Karena bila dibiarkan hingga matahari pagi datang menyengat, bintang
laut yang terdampar itu akan segera mati kekeringan', jawab si kecil
itu.
'Tapi pantai ini luas dan bermil-mil panjangnya', kata lelaki tua itu
sambil menunjukkan jarinya yang mulai keriput ke arah pantai pasir yang
luas itu. Lagi pula ada jutaan bintang laut yang terdampar. Aku ragu
apakah usahamu itu sungguh mempunyai arti yang besar', lanjut lelaki
itu penuh ragu.
Anak kecil itu lama memandang bintang laut yang ada di tangannya tanpa
berkata sepatahpun. Lalu dengan perlahan ia melemparkannya ke dalam
laut agar selamat dan hidup.
'Saya yakin usahaku sungguh memiliki arti yang besar sekurang-kurangnya bagi yang satu ini', kata si anak kecil itu.
Moral cerita :
Kiita sering mendambakan untuk melakukan sesuatu yang besar, namun
sering kali kita lupa bahwa yang besar itu sering dimulai dengan
sesuatu yang kecil.
Kisah Rumah Seribu Cermin
Dahulu, di sebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah rumah yang
dikenal dengan nama "Rumah Seribu Cermin". Pada suatu hari seekor
anjing kecil sedang berjalan-jalan di desa itu dan melintasi "Rumah
Seribu Cermin". Ia tertarik pada rumah itu dan memutuskan untuk masuk
melihat-lihat apa yang ada di dalamnya. Sambil melompat-lompat ceria ia
menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu depan. Telinga terangkat
tinggi-tinggi. Ekornya bergerak-gerak secepat mungkin. Betapa
terkejutnya ia ketika masuk ke dalam rumah, ia melihat ada seribu wajah
ceria anjing-anjing kecil dengan ekor yang bergerak-gerak cepat. Ia
tersenyum lebar, dan seribu wajah anjing kecil itu juga membalas dengan
senyum lebar, hangat dan bersahabat.
Ketika ia meninggalkan rumah itu, ia berkata pada dirinya sendiri :
"Tempat ini sangat menyenangkan. Suatu saat aku akan kembali
mengunjunginya sesering mungkin".
Sesaat setelah anjing itu pergi, datanglah anjing kecil yang lain.
Namun, anjing yang satu ini tidak seceria anjing yang sebelumnya. Ia
juga memasuki rumah itu. Dengan perlahan ia menaiki tangga rumah dan
masuk melalui pintu. Ketika berada di dalam, ia terkejut melihat ada
seribu wajah anjing kecil yang muram dan tidak bersahabat. Segera saja
ia menyalak keras-keras, dan dibalas juga dengan seribu gonggongan yang
menyeramkan. Ia merasa ketakutan dan keluar dari rumah sambil berkata
pada dirinya sendiri : "Tempat ini sungguh menakutkan, aku takkan
pernah mau kembali ke sini lagi".
Moral Cerita :
Semua wajah yang ada di dunia ini adalah cermin wajah kita sendiri.
Wajah bagaimanakah yang tampak pada orang-orang yang anda hadapi ?
Cemberut ? Melotot ? Itulah wajah anda !
Kisah Burung Pipit
Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai
merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang
dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan
tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara
yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.
Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin
sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.
Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel
salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena
tubuhnya terbungkus salju. Sampai ke tanah, salju yang menempel di
sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa
apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali
nasibnya.
Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang
menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya
seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan
bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk
menolongnya.
Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing
tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki
maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah
lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si
Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung
mengira lagi bahwa ia akan mati tak bisa bernapas.
Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada
bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat
bernafas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit
berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya-nya.
Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri
sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan
kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan
sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya
bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah
mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.
Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap
gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan
oleh si Kucing.
Pesan moral kisah ini :
1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita.
2. Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu satunya ukuran.
3. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak (kritik dan
potes --> kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang
menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya.)
4. Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan.
5. Waspadalah terhadap orang yang memberikan janji yang berlebihan atau memberi dukungan dan persetujuan.